1.1 |
Latar Belakang |
|
Kelahiran
dan perkembangan
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tidak terlepas dari perkembangan
pendidikan dokter di Indonesia, yang dimulai sejak zaman
penjajahan Belanda, pertama-tama dikenal sebagai "dokter
Jawa". Lama pendidikan untuk mendapat gelar tersebut hanya 2
tahun, yang pada hakekatnya pekerjaan mereka adalah membantu
dokter-dokter Belanda. Melihat kesanggupan "dokter Jawa"
tersebut dan mengingat kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan lebih
praktis, kemudian pendidikan "dokter Jawa" ini
ditingkatkan menjadi 10 tahun, yang kemudian diberi nama
"Indische Arts". Adanya dokter ahli paru pada saat itu,
terutama melayani penderita-penderita penyakit tuberkulosis paru,
juga semula terdiri hanya dari dokter-dokter Belanda, yang
kemudian mereka mendidik asisten-asisten dokter Indonesia menjadi
/ untuk mendapat suatu keahlian didalam bidang Ilmu Penyakit Paru.
Jadi dokter ahli paru yang disebut "Long-Arts" pada
zaman penjajahan Belanda itu yang berkebangsaan Indonesia juga
sudah ada, antara lain Prof. JC. Kapitan, Dr. Agus, Prof. HR.
Suroso dll. Para Longarts ini awalnya dididik oleh para radioloog
(dokter spesialis radiologi), karena cara deteksi dan diagnosis
utama waktu itu ialah secara fluoroskopi (sinar tembus). Para
Longarts ini kemudian mengembangkan diri di bidang keilmuan,
khususnya ke arah klinik, sehingga dengan bekal pengetahuan dan
keterampilan dasar sebagai dokter ditambah kemampuan di bidang
radiologi serta bidang klinik, khususnya masalah penyakit paru,
ditambah lagi dengan penguasaan segi-segi kedokteran komunitas,
jadilah para Longarts ini suatu keahlian yang cukup komprehensif,
khususnya di bidang tuberkulosis. |
|
Dari
Uraian diatas terlihat, Ilmu
Penyakit Paru / Dokter Ahli Paru pada waktu itu, sudah demikian
berkembangnya dan sudah berintegritas dalam banyak macam aspek
sosial dan kesehatan masyarakat. Pada waktu itu keadaan
penanggulangan penyakit-penyakit paru, khususnya penyakit
tuberkulosis paru, yang merupakan penyakit rakyat adalah sama
diseluruh Indonesia. Dalam tahun 1908 Pemerintah Hindia Belanda
telah membentuk suatu perkumpulan, dinamakan Centrale Vereeniging
voor Tuberculose Bestrijding (CVT), yang mendirikan beberapa
sanatorium untuk perawatan penderita-penderita tuberkulosis,
tetapi usaha preventif yang lebih penting pada waktu itu tidak
dijalankan. |
|
Dalam
tahun 1933 perkumpulan ini
diubah menjadi yayasan, yaitu Stiching Centrale Vereeniging tot
Bestrijding der Tuberculose (SCVT), yang bertujuan selain
mendirikan sanatorium, juga menjalankan usaha-usaha preventip dan
pengobatan seperlunya kepada rakyat. SCVT ini mendapat subsidi
dari Pemerintah Hindia Belanda, disamping sumber-sumber keuangan
lain antara lain, pada setiap hari Senin setiap orang
menyumbangkan dana sebanyak 1 sen, yang disebut Maandag-cent. SCVT
telah berhasil mendirikan 15 sanatorium besar dan kecil dan 20
biro konsultasi (CB) yang tersebar terutama di Pulau Jawa. |
|
Sejak
tahun 1937 SCVT telah
mempunyai sebuah klinik di Medan yang berbentuk rumah sakit, yang
dikenal sebagai Koningin Emma Kliniek, dilengkapi dengan Biro
Konsultasi. Pada waktu itu, hal tersebut sudah merupakan suatu
kemajuan dibidang pengobatan tuberkulosis, karena sebelumnya
pemecahan masalahnya lebih ditekankan pada perawatan penderita di
sanatorium. Yang bertugas di klinik tersebut adalah alm. Prof. HR.
Suroso. Selama pendudukan Jepang, disambung dengan pecahnya Perang
Kemerdekaan, segala usaha SCVT menjadi berantakan, kalau tidak
dikatakan hancur binasa. |
|
Tidak
banyak diketahui bagaimana
situasi pemberantasan tuberkulosis di Indonesia selama revolusi
kemerdekaan dan pada saat-saat sesudah proklamasi. Yang mungkin
banyak diketahui adalah bahwa salah seorang Jenderal Besar kita,
almarhum Jenderal Sudirman adalah salah seorang penderita TB paru |
|
Pada
tanggal 5 Desember 1950
Pemerintah RI mengirim surat kepada Unicef's Chief of Mission di
Jakarta, melaporkan perkembangan TB di Indonesia yang tidak saja
tidak menggembirakan, malah sudah mengkhawatirkan. Juga laporan
itu diberikan kepada WHO Respresentative di Jakarta. Dalam
perundingan-perundingan antara Pemerintah RI, WHO dan Unicef,
persetujuan segera dicapai. Hasil dari persetujuan tersebut adalah
dibukanya dua pilot project bantuan WHO dan Unicef dalam bulan
Oktober 1952, yaitu :
1 |
Tuberculosis
demonstration
and Training Programme |
2 |
BCG
Demonstration and
Training Programme |
|
|
Keduanya
dimaksudkan sebagai dasar
dan contoh dalam mengembangkan "Tuberculosis Controle"
di seluruh Indonesia kelak. Kesinilah tenaga-tenaga medis dan
paramedis dari daerah-daerah dikirim untuk dilatih dan dididik
dalam pemberantasan TB, supaya sekembalinya ke daerah
masing-masing dapat membangun Balai Pemberantasan Penyakit
Paru-Paru (BP4) sebagai pusat pemberantasan TB didaerahnya. Maka
berdirilah diman-mana BP4 yang berstatus pusat maupun daerah,
tingkat propinsi maupun kabupaten. BP4 tingkat propinsi harus
dipimpin oleh seorang dokter spesialis paru. |
|
Di
Batu (Jawa Timur) ada sebuah
Sanatorium dibawah pimpinan Dr. J. Van Joost dan di Mojokerto
(Jawa Timur), Dr. Wisse khusus bekerja di bidang paru. Dikedua
tempat tersebut selain terapi konservatip, juga dilakukan
tindakan-tindakan pembedahan, seperti reseksi tulang iga, drainase
kaverne, plumbase, torakoskopi, bronkoskopi, pneumotoraks
artifisialis dll. |
|
dalam
perkembangannya SCVT sejak 20
Januari 1956 diubah namanya menjadi Yayasan Pemberaatasan Penyakit
Paru-Pari di Indonesia (YP3I), selanjutnya pada tahun 1985
mengadakan fusi dengan Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis
Indoensia (PPTI) |
|
|
1.2 |
Maksud dan Tujuan Penulisan |
|
Maksud
dan tujuan dari penulisan
buku ini antara lain agar bagi generasi penerus, dokter spesialis
paru yang muda-muda dapat mengetahui, mempelajari dan mengamati
"sejarah", berdirinya PDPI sejak awal dan
perkembangannya, bagaimana para senior kita yang telah tiada
maupun yang masih hidup, berjuang dengan gigih
"mendirikan" Perhimpunan kita dari tidak dikenal menjadi
seperti sekarang ini. |
|